Naspi Arsyad Tegaskan Pentingnya Keamanan Digital dan Spiritual Anak Bangsa
JKT.NEWS -- Suhardi, Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah DKI Jakarta, memberikan apresiasi terhadap pandangan dan ketegasan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, KH. Naspi Arsyad, Lc., dalam membuka Musyawarah Nasional (Munas) VI Muslimat Hidayatullah di Gedung DPR RI Jakarta. Kamis, (27/11/25).
Penekanan kuat pada isu ketahanan keluarga dan keamanan ruang hidup anak bangsa di tengah derasnya arus digitalisasi. Menurut Suhardi, arah pemikiran yang disampaikan Naspi dalam pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) VI Muslimat Hidayatullah menjadi fondasi penting bagi penguatan agenda kelembagaan, khususnya dalam merespons perubahan sosial yang kian cepat dan kompleks.
Ia menilai bahwa keberanian menempatkan isu keamanan mental spiritual sebagai persoalan strategi merupakan langkah yang relevan dan patut mendapat perhatian semua pihak. KH. Naspi Arsyad menyampaikan perayaan pembukaan Munas VI Muslimat Hidayatullah yang berlangsung di Gedung DPR RI Jakarta.
Pada kesempatan tersebut, ia mengangkat tema besar mengenai perubahan pemaknaan rasa aman dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Naspi memaparkan bahwa dinamika sosial yang dipicu oleh kemajuan teknologi telah mengubah pola interaksi, pola pengasuhan, serta ancaman struktur yang dihadapi generasi muda.
Ia mengajak seluruh peserta untuk melihat perubahan tersebut secara objektif dan menyeluruh agar mampu menilai permasalahan keluarga dengan lebih tepat. Naspi memulai penjelasannya dengan mengajak peserta menelusuri kembali ingatan kolektif tentang bagaimana rasa aman dipahami beberapa dekade lalu.
Pada masa tersebut, keamanan cenderung dikaitkan dengan ancaman fisik seperti tindak kriminal, paksaan, atau instabilitas ekonomi. Ia menggambarkan bahwa masyarakat saat itu memandang aman sebagai kondisi di mana individu terbebas dari konflik, pencurian, pembunuhan, atau krisis politik yang mengganggu kesejahteraan bangsa. Menurutnya, pandangan tersebut sangat berorientasi pada ancaman langsung yang dapat dirasakan secara fisik.
Namun, menurut Naspi, definisi itu kini mengalami perubahan mendasar. Ia menandaskan bahwa perkembangan teknologi digital telah menciptakan bentuk ancaman baru yang tidak bersifat kasat mata, namun memiliki dampak psikologis dan spiritual yang jauh lebih besar.
Rasa aman di era ini tidak lagi terbatas pada ancaman materiil, melainkan juga mencakup ancaman yang menggerus identitas, moralitas, dan keteguhan nilai-nilai keagamaan generasi muda.
Naspi memaparkan berbagai bentuk ancaman yang kini menimpa anak-anak bangsa, mulai dari cyberbullying , eksploitasi seksual yang berani, penipuan identitas digital, hingga pencurian data pribadi. Ia menyebut bahwa ancaman-ancaman tersebut dapat menimbulkan tekanan psikologis lebih berat dibandingkan ancaman fisik, karena merusak struktur kepercayaan diri, dorongan jatidiri, dan ancaman stabilitas emosional.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa serangan semacam ini berpotensi mencabut nilai akar agama dari masyarakat dan membahayakan kelangsungan keluarga yang selama ini menjadi fondasi ketangguhan bangsa.
Untuk memperkuat argumentasinya, Naspi merujuk pada temuan Global Safety Report 2025 yang menempatkan Singapura, Tajikistan, dan China sebagai negara paling aman di dunia berdasarkan indikator keamanan fisik. Namun, ia menyoroti data tambahan yang menunjukkan bahwa Singapura, meskipun berada pada posisi tertinggi secara fisik, justru memiliki tingkat stres dan angka bunuh diri tertinggi di Asia Tenggara pada tahun 2024.
Ia memaparkan fakta tersebut sebagai contoh bahwa keamanan fisik tidak serta-merta mencerminkan kesejahteraan psikologis dan spiritual suatu bangsa. Menurutnya, survei itu menjadi pengingat bahwa rasa aman harus dipahami secara lebih holistik.
Dalam kesempatan itu, Naspi mendorong peserta Munas untuk menjadikan keamanan mental-spiritual sebagai perhatian utama. Ia menegaskan bahwa ketahanan keluarga tidak dapat dibangun tanpa kualitas ruang tumbuh kembang anak yang aman secara emosional dan religius.
Menurutnya, negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga agar generasi muda tidak terjebak dalam arus digital negatif yang merusak moral dan nilai luhur bangsa.
Ia menegaskan bahwa Hidayatullah sebagai lembaga dakwah memiliki peran penting dalam membangun kesadaran kolektif mengenai urgensi ketahanan keluarga. Keberadaan Hidayatullah di 38 provinsi, menurutnya, merupakan bukti komitmen organisasi dalam mendampingi umat melalui pendidikan, dakwah, dan pelatihan karakter.
Kontribusi Hidayatullah mungkin tidak selalu terlihat di ruang publik, namun dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama dalam membangun lingkungan sosial yang lebih kuat secara spiritual.
Naspi juga mengumumkan kepada pemerintah untuk memberikan dukungan lebih luas terhadap gerakan dakwah, termasuk Hidayatullah. Ia menyampaikan bahwa lembaga-lembaga keagamaan memiliki peran besar dalam memperkuat ketahanan mental-spiritual masyarakat, sehingga dukungan pemerintah terhadap program pembinaan umat harus menjadi prioritas.
Menurutnya, upaya memperkuat keluarga Indonesia tidak hanya bergantung pada kebijakan formal, melainkan harus melibatkan kolaborasi dengan organisasi masyarakat yang telah lama bergerak di lapangan.
Munas VI Muslimat Hidayatullah mengusung tema “Meneguhkan Peran Muslimah dalam Membangun Ketahanan Keluarga Menuju Indonesia Emas.” Tema ini dipilih sebagai respon terhadap tantangan besar yang menghadang keluarga Indonesia, khususnya dalam mempersiapkan generasi menuju visi Indonesia Emas 2045.
Dalam pandangan penyelenggara, muslimah memiliki peran strategis dalam membangun stabilitas emosional, moral, dan spiritual keluarga, sehingga meningkatkan kapasitas mereka menjadi bagian penting dari agenda nasional.
Pembukaan Munas juga menghadirkan berbagai tokoh penting, seperti Ketua Majelis Penasehat Hidayatullah Ust. H. Abdul Latif Usman, Ketua Pimpinan Majelis Syura Hidayatullah KH. Hamim Thohari, Wakil Ketua Majelis Syura KH. Nashirul Haq, serta Ketua Majelis Penasihat Muslimat Hidayatullah Dr. Hj. Sabriati Aziz. Hadir pula Staf Khusus Menteri Bidang Perlindungan Perempuan Hj. Ariza Agustina, yang mewakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dra. Hj. Arifatul Choiri Fauzi M.Si untuk membuka acara secara resmi.
Pembukaan kegiatan dirangkaikan dengan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yang disampaikan oleh Anggota Komisi XIII DPR RI, Al Muzzammil Yusuf, sebagai narasumber utama. Sosialisasi tersebut bertujuan memperkuat pemahaman peserta mengenai nilai-nilai dasar kebangsaan yang menjadi landasan pembangunan nasional.
Melalui Munas ini, Muslimat Hidayatullah diharapkan memperkuatnya dalam mendampingi keluarga Indonesia menghadapi tantangan era digital. Pesan utama yang disampaikan Naspi dan diapresiasi Suhardi menjadi penanda bahwa isu ketahanan mental-spiritual kini berada pada posisi strategis dalam membangun masa depan bangsa yang lebih kokoh dan berkarakter.
HASMAN DWIPANGGA.

